Suami Tak Peduli Mertuanya …
SUAMI TAK PEDULI MERTUANYA …
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh
Saya memiliki persoalan berkaitan dengan suami. Sebagai menantu, ia nampak tidak berperilaku baik kepada orang tua saya selaku mertuanya. Misal, ketika orang tua saya meminta tolong atau memerintahkannya untuk melakukan sesuatu, ia enggan melaksanakannya.
Alasannya, taat kepada mertua tidak wajib. Kewajiban taat hanya kepada orang tua. Dengan argumentasi ini pula, terkadang ia lebih mengutamakan berkunjung ke rumah orang tuanya sendiri, daripada menangani urusan rumah tangga, padahal tidak ada kepentingan mendesak di rumah orang tuanya tersebut.
Masalah lain, bila ia dinasihati, misalnya agar lebih rajin beribadah sunnah, ia menolak. Karena, menurutnya, lelaki adalah qawwam keluarga, yang mengatur keluarga. Mohon nasihat.
Jawaban.
Kami ikut prihatin dengan persoalan yang sedang Ukhti hadapi. Satu persoalan yang memang duluar dugaan. Karena, bagaimana mungkin seorang menantu menolak membantu mertua dengan alasan demikian. Anggapan tidak ada kewajiban taat kepada mertua merupakan tindakan yang sangat naif. Dari kasus ini, hendaklah menjadi sarana bagi kita –juga para pembaca- untuk instrospeksi diri dan bersikaplah dengan dasar takwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Ada beberapa hal yang perlu disampaikan berkenaan dengan hubungan menantu dengan mertua,sebagai berikut :
1. Kewajiban ketaatan seorang anak kepada orang tua sangat ditegaskan dalam ajaran Islam. Ketaatan ini menempati urutan kedua setelah kewajiban bertauhid kepada Allah Ta’ala. Dan ketaatan ini harus tetap dalam koridor yang diperbolehkan syariat. Tidak boleh patuh dan taat kepada makhluk, termasuk kepada orang tua dalam perkara-perkara yang dilarang Allah Ta’ala. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا الطَّاعَةُ فِي الْمَعْرُوفِ
“Kewajiban taat (kepada makhluk) hanya dalam perkara-perkara yang ma’ruf (baik-baik)“. [HR al- Bukhâri].
2. Seorang muslim, bukanlah makhluk individu. Tetapi ia juga merupakan makhluk sosial. Artinya, ia memiliki dan memerlukan lingkungan untuk berinteraksi dengan orang lain. Misalnya, sebagai anggota masyarakat, tetangga, pegawai, pembeli, pedagang dan lain-lain. Dia mempunyai kewajiban kepada orang lain, meskipun keterkaitannya berbeda-beda.
Begitu juga yang berhubungan dengan sesama anggota keluarga, pasti memiliki keterikatan yang saling memerlukan. Baik yang bersifat material, moril atau kebutuhan lainnya. Semua ikatan ini akan dapat menguatkan rasa saling menghargai, menghormati, dan sangat mungkin mempererat tali persaudaraan.
3. Islam adalah agama yang menjunjung tinggi moral, dan untuk perbaikan akhlak manusia. Baik akhlak kepada Rabbul-‘Alamin, sesama manusia, dan juga kepada orang tua.
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memerintahkan kita agar berbuat ihsân kepada sesama dalam firman-Nya:
وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَبِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَالْجَارِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَالْجَارِ الْجُنُبِ وَالصَّاحِبِ بِالْجَنبِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَمَا مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ
“Dan berbuat baiklah (ihsân) kepada dua orang ibu-bapak, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu…” [an-Nisâ`/4:36].
Apa yang dimaksud berbuat ihsaan kepada sesama? Syaikh al-Jazaairi dalam tafsirnya (1/224) menjelaskan, yaitu badzlul ma’ruf wa kafful adzâ` (menyampaikan kebaikan dan menyingkirkan keburukan). Tentu, konsep yang terkandung dalam dua tindakan tersebut memiliki arti sangat luas.
Secara khusus, Allah Subhanahu wa Ta’ala juga memerintahkan untuk bertutur kata baik kepada sesama:
وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“…Dan ucapkanlah kata-kata baik kepada manusia…” [al-Baqarah/2:83].
Sebagian ulama tafsir menyatakan, kandungan ayat di atas berlaku umum, kepada orang kafir sekalipun. Orang kafir –dengan syarat-syarat tertentu- juga berhak diperlakukan secara ihsân oleh seorang muslim.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
وَخَالِقِ النَّاسَ بِخُلُقٍ حَسَنٍ
“Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik“. [HR at-Tirmidzi].
4. Bercermin pada permasalahan di atas, maka kewajiban seorang muslim untuk berbuat baik menjadi bertambah ketika ia masuk ke dalam keluarga besar orang lain melalui akad pernikahan. Sebuah keluarga yang sebelumnya tidak memiliki hubungan apapun, begitu terjadi akad pernikahan, maka ia menjadi bagian tak terpisahkan dengan kehidupannya. Sehingga menumbuhkan konsekwensi adanya kewajiban yang sebelumnya tidak mengikatnya, karena telah menjadi bagian darinya.
Disinilah, sebagai anggota baru dalam suatu keluarga besar, kita memiliki keterikatan berinteraksi dan akan saling membutuhkan. Karena salah satu tujuan dari pernikahan ialah untuk menjalin kekerabatan dengan keluarga lain. Dari hubungan ini maka tak pelak, tuntutan untuk saling membantu mutlak diperlukan dalam batas-batas yang diperbolehkan syariat, tak terkecuali dengan mertua.
5. Dalam konteks ini pula, bukankah Islam telah mengajarkan supaya yang muda menghormati orang yang lebih tua? Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَرْحَمْ صَغِيرَنَا وَيُوَقِّرْ كَبِيرَنَا
“Bukan termasuk kami orang yang tidak merahmati yang lebih kecil dan menghormati yang lebih besar.“[HR at-Tirmidzi. Ash Shahihah : 2196]
Oleh karena itu, semestinya setiap muslim memahami anjuran Islam ini secara menyeluruh. Ada hak yang harus ditunaikan bagi sesama muslim. Termasuk kepada mertua, yang tentu menjadi kerabat kita. Dan kerabat memiliki hak yang semestinya lebih diutamakan. Sehingga jika seorang menantu merasa enggan membantu mertua, hendaklah ia menyadari ketimpangannya dalam memahami syari’at Islam yang mengajarkan kebaikan kepada sesama dan kaum kerabat. Bahkan jika menelusuri peran mertua, sebagai orang tua pasti memiliki jasa yang tidak sedikit. Kalaupun menantu seakan mendapat beban karena diminta untuk membantunya, maka pertolongan yang diberikan menantu tersebut masuk dalam perbuatan yang baik.
6. Walaupun bagaimana mertua adalah orang yang wajib dihormati, selain lebih tua, ia juga adalah orang tua istri yang tidak dapat dipungkiri adalah bagian yang tidak dapat lepas dari suami. Apalagi mereka itu orang yang memberikan amanah pemeliharaan dan pergaulan baik istri kepada seorang suami ketika akad pernikahan. Menghormati mertua lebih besar lagi dibanding orang lain selain orang tua sendiri dapat dilihat dari posisi pasangan suami istri yang seharusnya menyatu.
Kebahagiaan istri merupakan kebahagiaan suami juga. demikian juga sebaliknya sebab istri adalah pakaian suami, sebagaimana dijelaskan Allah dalam firman-Nya.
هُنَّ لِبَاسٌ لَّكُمْ وَأَنتُمْ لِبَاسٌ لَّهُنَّ
“Mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka” [al Baqarah/2 : 187]
Semestinya sang suami menghormati mertuanya sebagaimana menghormati orang tuanya sendiri walaupun kedudukannya tentu dibawah orang tua sendiri. Namun, tidak boleh meremehkan dengan menyatakan tidak ada kewajiban taat kepada mertua. Ingatlah, istri dapat akan berbahagi bila orang tuanya dihormati dan dihargai serta ditempatkan pada posisinya yang benar.
Kebahagian istri akan memiliki dampak sangat positif dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah dan penuh rahmat. Demikian juga hubungan kepada orang tua jangan sampai melalaikan tugas dan kewajiban terhadap keluarga.
Menghadapi sikap suami yang demikian, kewajiban Ukhti sebagai istri tetaplah bersabar. Berilah ia pengertian secara baik-baik dan jangan bosan untuk tetap memberi nasihat.
Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberi hidayah, rahmat dan inayah-Nya kepada setiap rumah tangga kaum muslimin. Hingga tiap-tiap rumah sarat dengan cahaya hidayah, yang tidak hanya akan dirasakan oleh keluarga bersangkutan, tetapi juga dinikmati oleh masyarakat sekitar.
Wallahu a’lam.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 12/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/2740-suami-tak-peduli-mertuanya.html